Selasa, 12 Oktober 2010

Sepenggal Kisah Dari LUWU

ISTANA BATARA GURU

Oleh; Nawawi.S.Kilat

ISTANA bagi sebuah kerajaan adalah tempatnya berdiam Datu ( Raja ) dan para kerabat-kerabatnya,lokasi atau tempat didirikannya, menjadi pusat pemerintahan atau dikenal sebagai Ware di Kerajaan Luwu, sebagai mana halnya Istana Datu Luwu yang sekarang ada di Palopo merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu (Ware pada periode ke V) yaitu sesudah dipindahkan dari periode Pao,Patimang Malangke (Ware ke IV).Istana Datu Luwu yang ada di Kota Palopo sekarang merupakan istana yang terakhir. Jika diketahui, sebagai Istana yang terakhir, maka tentu ada istana-istana sebelumnya yang menyadi pusat pemerintahan Kerajaan Luwu ( Ware ). Yang menjadi masalah, hal ini kadang diabaikan yaitu dimana Istana Datu atau Kerajaan Luwu yang Pertama, tempat dimana didiami oleh Batara Guru,sebagai sokoguru pemerintahan Datu Luwu. Menurut tradisi,dan dipercayai banyak pihak, Luwu dianggap sebagai daerah tertua bagi pemukiman dan merupakan kerajaan yang tertua khususnya di Sulawesi, hal itu menyebabkan daerah ini sangatlah bergengsi. Ketuaan Luwu tidak dapat dilihat pada periode ke III ketika Pusat Kerajaan Luwu berpusat di Kamanre di tepi Sungai Noling ( Palopo Selatan atau Kabupaten Luwu sekarang) karena hal tersebut terjadi sekitar abad ke XV,atau ketika pusat kerajaan Luwu berada di Pao,Patimang Malangke karena hal itu juga terjadi pada sekitar abad ke XVI, apalagi jika hal tersebut dilihat ketika pusat kerajaan Luwu berpusat di Palopo karena hal itu baru terjadi ketika memasuki abad ke XVII. Ketuan Luwu hanya dapat dilihat ketika kerajaan Luwu berpusat di sekitar Wotu lama karena hal tersebut terjadi disekitar abad ke IX sampai abad ke XIII yaitu pada masa kerajaan Luwu pada periode Ware yang pertama

Kembali pada permasalahan yang ada tentang dimana letak Istana Luwu yang pertama, dan hal ini kadang atau sengaja diabaikan sehingga perhatian kita hanya tertuju dimana Istana Datu Luwu yang ada sekarang, yaitu di Palopo atau yangmenjadi Ware. Jika perhatian kita hanya mengarah pada pemahaman ini, dikhawatirkan khususnya para generasi muda wija to Luwu akan asing dengan sejarahnya sendiri, mereka kehilangan jejak, pemahaman tentang Luwu makin sempit, sementara terabaikan jejak perjalanan panjang ketika Ware di Wotu,tempat berpijak awal dari Batara Guru dan keturunannya, ketika Ware di Mancapai dekat Lelewawu selatan Danau Towuti tempat berpijak Datu Luwu Anakaji dan keturunannya, ketika Ware di Kamanre, ditepi sungai Noling sebelah selatan kota Palopo,tempat bepijak Dewa Raja dan keturunannya, ketika Ware di pindahkan ke Pao, di Patimang dan Malangke dimana disini terjadi peristiwa yang sangat besar, yaitu masuknya agama Islam yang diperkenalkan oleh Dato Patimang. Sebagai catatan peristiwa-peristiwa tersebut justru terjadi antara abad ke IX sampai dengan Abad ke XVI Masehi, jadi berlangsung kurang lebih 700 tahun lamanya, terkadang perhatian kita diarahkan atau sengaja diarahkan pada kejadian yang selalu dijadikan fokus perhatian yang tertuju ke Palopo karena kedudukannya sebagai Ware sekarang baru terjadi pada abad ke XVII Masehi. Untuk menghadapi kehawatiran ini kami mencoba mengkajinya dari beberapa penelitian serta cerita tutur yang terpelihara dengan baik di tanah luwu dengan memulai, perhatian dari cikal bakal lahirnya kerajaan Luwu dari periode Luwu Pertama, dengan menunjukan letak Istana Batara Guru.

Ada anggapan bahwa sebahagian orang, menganggap istana Luwu tempat berdiam Batara Guru yang pertama berada di Cerekeng ( Cerrea), pendapat ini adalah sangat keliru karena masyarakat Bugis menetap di Cerekeng baru pada pertengahan abad ke Limabelas ,( Bulbeck dan Caldwell 2000;99 ) datang melalui Malili sekarang,adapun penduduk yang mendiaminya pada saat itu adalah Wotu, Pamona, To padoe atau Mori dan To Laki itulah sebabnya Malili tidak mempunyai penduduk asli, sehingga menurut Ian Caldwell Tidak ada bukti apapun yang menunjukan masyarakat Bugis di Cerekang maupun Ussu sebelum pertengahan abad ke Lima Belas. Hal ini berarti jikapun ada Identivikasi lokal atas Cerekang sebagai tempat Istana Batara Guru lebih tepat berlaku dari abad ke Enambelas ke atas, Lokasi dari pusat istana Luwu disini dalam tradisi lisan secara nyata adalah penempatan kejadian pada waktu yang salah ( anakronisme ).

Sebagai catatan kata Cerekang adalah terjemahan dari kata Cerrea yang merupakan nama asli Cerekeng. Cerrea dalam bahasa Wotu berarti tempat berpindah atau hijrah,terjadi ketika runtuhnya pusat kerajaan Luwu yang Pertama disekitar Wotu Lama yaitu sekitar Ussu dan Bilassalamoa.Sebagai tambahan menurut Ian Caldwell dalam tulisan “ Kenyataan, Anakrotisme dan Fiksi: Arkeologi bersejarah dan pusat-pusat kerajaan dalam La Galigo” beliau menyatakan “ Hampir pasti bahwa Istana Batara Guru di Cerekang di Teluk Bone Timur adalah sebuah Mitos. Pemukiman Bugis di Cerekang hanya dimulai sekitar kurang lebih tahun 1450, berhubung dengan naiknya peleburan besi dan produksi alat-alat senjata di Matano. Hal ini merupakan suatu godaan untuk beranggapan bahwa masyarakat Bugis di Cerekang telah secara nyata mengadopsi dan mengadaptasi mitos istana Batara Guru dari tetangganya, Wotu yang lebih tua.

Wilayah Wotu dahulu kala adalah tempat dimana Batara Guru turun untuk mendirikan kerajaan pertama. Disini jugalah pohon raksasa (pappua maoge) Welenreng ditebang untuk menbangun perahu Sawerigading ( Pelras 1996;59).Pada hal dua tempat di Luwu ini menyatakan bahwa disitulah bukit tempat dimana Istana Batara Guru berdiri.Daerah yang pertama adalah Wotu, sebuah kota kecil yang berbicara dalam bahasa daerah sendiri yang memiliki hubungan kausal dengan Kaili, Buton dan Selayar, identifikasi lainnya adalah bukit Pensimewoni yang terletak ditikungan sungai Cerekang.Disini terlihat atau nampak bagi kita bahwa tanpa malu-malu dengan penuh kejujuran peneliti Ian Caldwell mengakui bahwa Wotulah yang lebih tua. Jika ingin jujur dan kembali dalam arus sejarah yang betul, maka seyogianya pemerintahan Kabupaten Luwu Timur membetulkan berdasarkan sejarah kata Cerekang dikembalikan sesuai dengan nomenklatur nama aslinya yaitu Cerrea.Bukti lain adalah sesepuh kepala adat di Cerrea disebut sebagai Pua Cerrea atau nenek Cerrea,Pua tidak dikenal dalam bahasa Bugis, demikian pula halnya air suci yang ada di Cerekang (Cerrea) disebut Uwwe Mami yang berarti Air Kami atau atau air bertuah. Uwwe Mami tidak dikenal dalam bahasa Bugis tetapi hanya ada dalam bahasa Wotu. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Masyarakat Hukum Adat di Wotu disebut Macoa atau yang dituakan, itulah sebabnya orang Wotu dianggap tua atau macoa, sehingga Datu-Datu Luwu yang mengerti Sejarah Luwu yang sebenarnya menempatkan hadat Wotu sebagai sangat terhormat, Datu Luwu menempatkan Hadat Luwu sebagai Kakak atau Macoa, sehingga pemangku Hadat Wotu disebut Macoa Bawalipu ( Yang dituakan di bumi). Pemangku Hadat Wotu sangat menghormati dan menyayangi siapapun Datu di Luwu.Orang Wotu memperlakukan Datu Luwu sebagai adik yang harus dijunjung tinggi dan wajib dilindungi dan dibelanya, demikian pula sebaliknya dahulukala Datu Luwu sangat menghargai orang Wotu sebagai kakaknya ,sebagai mana diperlihatkan Datu-Datu sebelunya. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah tanah Luwu, ada sekelompok orang, atau pihak-pihak tertentu yang tidak mengerti sejarah Luwu yang sebenarnya dan berada disekitar Datu Luwu, ingin menghilangkan hubungan baik ini,sehingga peran hadad Wotu sengaja dikesamspingkan. Akan tetapi selicik apapun kelompok ini tidak akan berarti karena setiap saat ada penelitian yang dilakukan para ahli,dan orang Wotu sendiri sangat menhormati hadatnya, dan hadad Wotu keabsahannya juga tidak membutuh adanya pengesahan dari pihak lain termasuk siapapun yang menjadi Datu.Pemangku hadad Wotu dipimpin oleh seorang Macoa, dengan gelar Macoa Bawalipu. Sejujurnya peneliti dari manapun sulit menghilangkan Wotu dari sejarah tanah Luwu,karena Luwu dimulai dari sana.Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, kami menutupnya dengan kalimat bijak dari Daniel Defoe “ Bila Arlojiku sendiri yang keliru, hanya aku yang tertipu, bila jam kota yang keliru, maka seluruh warga kota ini akan tertipu karenanya” ( Penulis adalah Wakil Sekertaris KKSS Provinsi Sulawesi Tengah)

Senin, 06 Juli 2009

KEMBALIKAN WOTU PADAKU

Oleh: Nawawi Sangkilat

A. PENDAHULUAN

SEBAGAIMANA diketahui, pulau Sulawesi adalah salah satu pulau terbesar di gugusan kepulauan nusantara. Nama Sulawesi juga telah menjadi misteri tentang siapa yang pada awalnya memberikan nama pulau ini menjadi pulau Sulawesi. Akan tetapi besar dugaan bahwa orang yang bersejarah memberikan nama pulau ini sebagai Sulawesi yaitu Prof. Moh. Yamin sebagai ganti dari nama yang sebelumnya yaitu Celebes yang dikenal pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya nama Celebes pada awalnya dikenalkan oleh seorang yang berkebangsaan Portugal yang bernama Antonio Calvao pada tahun 1563. Celebes oleh Antonio Calvao dimaksudkan sebagai ”ternama” atau tanah yang makmur yang terletak di garis Khatulistiwa. Celebes bagi orang Belanda menyebutnya dari kata Cele Besi yaitu Cele (Keris, badik atau kawali)`yang dibuat dari Bessi`(Bugis). Sebuah anekdot dalam masyarakat yang konon menurut cerita yang dituturkan oleh seorang Belanda yang bertanya kepada seseorang yang secara kebetulan seorang bugis. Orang Belanda bertanya tentang nama tempat atau pulau, akan tetapi disalahartikan oleh orang Bugis yang menurut sangkaannya orang Belanda tersebut menanyakan nama senjatanya, lalu dijawabnya sele (keris) bessi (besi). Terlepas atas kebenaran cerita tersebut tetapi kenyataannya pulau Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil bessi (besi), sehingga tidaklah mengherankan Ussu dan sekitar danau Matana mengandung besi dan nikkel. Bessi Luwu atau senjata Luwu (keris atau kawali) sangat terkenal akan keampuhannya, bukan saja di Sulawesi tetapi juga di luar Sulawesi, sehingga seorang novelis terkemuka Kho Ping Ho (Asmaraman) menggambarkannya dalam cerita ”Badai di laut Selatan” di dalamnya diceritakan kehebatan atau keampuhan Keris Brojol Luwu yang kini telah menjadi pusaka kerajaan Airlangga.

B. PERIODE PEMERINTAHAN KERAJAAN LUWU
Kerajaan Luwu yang kita kenal sekarang telah memiliki sejarah yang sangat panjang sehingga dari sudut pandang geo politik, para ahli terkadang dibingungkan oleh kemashuran Luwu sebagai sebuah kerajaan terbesar dan tertua di Sulawesi. Bahkan menampakkan kesejajaran kronologis atau kemitraan horizontal dengan raksasa Majapahit. Dan dari sudut pandang ekonomi, sulit memahami bagaimana entitas politik ekonomi Luwu dapat memasuki kontak-kontak interregional dan internasional. Sementara dari sudut pandang letak geografisnya boleh dikatakan agak terpencil pada sebuah teluk yang jauh meletak membelah dua semenanjung selatan dan tenggara yang sempit dan runcing. Kedatuan Luwu yang pernah besar pada suatu masa di mata nasional maupun internasional. Kajian tentang Kedatuan Luwu terutama pada wilayah proto sejarahnya yang begitu lambat dan ketinggalan oleh daerah lain diperparah lagi oleh kurangnya dorongan pemerintah setempat dalam mensosialisasikan kebesaran Kedatuan Luwu, padahal dalam kitab yang ditulis oleh sastrawan terkemuka Empu Prapanca dalam bukunya Dasa wardana atau Nagara Kertagama yang ditulis pada tahun 1365 Kedatuan Luwu sudah terjabarkan dengan sangat baik di sini. Dalam periode –periode pemerintahan Kedatuan Luwu, pusat pemerintahan atau ibu kota disebut dengan Ware (pusat tanah Luwu) yang merupakan wilayah khusus dan istimewa sehingga itulah sebabnya Sawerigading juga bergelar Opunna Ware ( Rajanya Ware). Adapun periode pemerintahan Datu Luwu sebagai berikut;

Pada periode Pertama pusat Kerajaan Luwu (Ware Pertama) dimulai pada sekitar abad ke X hingga abad ke XIII, ketika itu Ware disekitar Ussu, yakni tempat asal mula turunnya Batara Guru ke permukaan bumi lengkap dengan istananya, kini daerah tersebut menjadi tabu untuk dimasuki oleh sembarang orang. Pada periode Kedua dimulai ketika memasuki awal abad ke XIV pusat kerajaan Luwu (Ware Kedua) dipindahkan oleh Datu Luwu Anakaji, ke Mancapai, dekat Lelewawu, disebelah selatan Danau Towuti yang kini berada di Propinsi Sulawesi Tenggara. Pada priode Ketiga pusat Kerajaan Luwu ( Ware Ketiga) dimulai pada sekitar abad ke XV, dipindahkan oleh Datu Luwu yang bernama Dewaraja ke Kamanre, ditepi sungai Noling, atau sekitar 50 kilometer sebelah selatan kota Palopo. Adapun strategi perpindahan ini dilakukan dengan maksud memperluas kerajaan kesebelah selatan, tetapi sayangnya usaha tersebut terhalang dengan adanya perlawanan yang keras dari kerajaan Bone, yang mengakibatkan Kedatuan Luwu kehilangan wilayah Cenrana, Wage dan Laletonro. Pada periode Ke empat pusat kerajaan Luwu ( Ware Keempat) pada sekitar abad ke XVI Ware dipindahkan ke Pao, di Pattimang Malangke. Dan pada periode ini agama Islam masuk ke Luwu, yang diperkenalkan oleh Dato Pattimang sekitar tahun 1603. Pada saat Ware perpusat di Pao telah terjadi peristiwa perebutan tahta yang menimbulkan pertikaian antara putra mahkota Patiraja dan adiknya yang bernama Patipasaung. Perang saudara tidak dapat terhindarkan, walaupun pada akhirnya dapat dipadamkan oleh Madika Bua, Madika Ponrang dan Makole Baebunta. Madika Bua telah berperan sebagai inisiator sekaligus ketua perdamaian. Perang saudara ini diakhiri dengan penyerahan kekuasaan kepada raja yang sah, Patipasaung, oleh kakaknya Patiraja. Pada Periode Kelima pusat kerajaan Luwu (Ware Kelima) dipusatkan di Palopo sampai dengan sekarang. Dan atas jasa-jasanya meredam perang saudara di Pao, tiga kerajaan pendukung yaitu Bua, Ponrang dan Baebunta diangkat statusnya menjadi Anak Tellue atau tiga kerajaan utama di Luwu.

C. WOTU YANG TERLUPAKAN
Pada kesempatan ini kami mencoba mengungkap secara sekilas keberadaan Wotu dalam percaturan perpolitikan pemerintahan Kedatuaan Luwu, yang terkadang dilupakan ataukah kemungkinan sengaja untuk dilupakan. Wotu yang kita kenal sekarang ini, merupakan sebuah wilayah pemukiman setingkat Kecamatan dan secara administratif berada dalam Kabupaten Luwu timur, terletak diujung utara Teluk Bone dan sebelah barat sungai Kalaena. Wotu di diami dua etnik yang besar yaitu Wotu dan bugis. Keunikan Wotu seperti juga didaerah Luwu yang lainnya, misalnya Baebunta yang berlaku dua bahasa pengantar, bahasa Wotu dituturkan pada umumnya orang Wotu ”asli” dan diduga merupakan grup linguistik Muna, Buton dan Kaili, dan bahasa Bugis.

Wotu yang kita diami sekarang ini adalah Wotu pada periode kedua, yaitu setelah runtuhnya dinasti Kedatuan Luwu pada periode Ware Petama sekitar akhir abad ke XIII. Letak Wotu sebelumnya berada disekitar Ussu di kaki Gunung Lampenai, disekitar tempat ini disebut sebagai lokasi Mulataue atau mulaitoe. Sebagaimana juga dipahami oleh banyak orang Luwu, bahwa Batara Guru mengajarkan bagaimana cara berladang dan bercocok taman yang baik di lokasi Mulaitoe oleh orang Wotu menyebutnya sebagai Bilassa Lamoa atau Kebun Dewata. Di sekitar wilayah inilah oleh Ian Caldwell yang merupakan Dosen Sejarah Indonesia di Universitas of Hull yang menulis Land of iron, The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley, menyebutkan bahwa di tempat inilah pusat istana Luwu yang dimiliki oleh Batara Guru yang pertama. Dalam La Galigo, tempat dimana pusat istana tersebut tidak disebutkan secara akurat.

Sebagaimana diketahui dalam tradisi, Luwu dianggap sebagai daerah tertua untuk pemukiman Bugis dan merupakan kerajaan Bugis tertua dan yang paling bergengsi. Beberapa sejarawan percaya bahwa mahkamah Luwu merupakan asal mula kebudayaan dan tradisi masyarakat elit Bugis (contohnya Prof. Kern 1939;9, Prof. Zainal Abidin.1983;249) Dalam penelitian terakhir olehss proyek The Origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS Proyek) meragukan tradisi ini karena hasil penggalian kramik dari Malangke (Pusat Istana Luwu sebelum kira-kira tahun 1620) daerah ini menunjukan suatu daerah yang tidak berpenghuni atau ditempati hingga sekitar tahun 1300. Periode kejayaan atau kemakmuran ini adalah abad ke XV dab XVI ( Bulbeck dan Caldwell 2000; 92). Luwu sebagai kerajaan yang tertua terletak pada kenyataan bahwa bagian awal dari LaGaligo terdapat di Luwu. Di Luwulah tempat dimana Batara Guru turun untuk mendirikan kerajaan yang pertama. Disini jugalah pohon raksasa Welenreng ditebang untuk membangun perahu-perahu Sawerigading (Pelras 1996; 59). Padahal, dua tempat di Luwu menyatakan bahwa disitulah bukit dimana Istana Batara Guru pernah berdiri. Menurut Ian Caldwell daerah yang pertama adalah Wotu. Indikasi lainnya dan lebih banyak dikenal adalah bukit Pensimewoni yang terletak ditikungan sungai Cerekang (cerrea). Jika ada anggapan seakan-akan membenarkan adanya pendapat bahwa letak Istana Batara Guru yang pertama berada di Cerekang menurut Ian Caldwell adalah hanyalah merupakan sebuah mitos atau tidak benar, karena pemukiman Bugis di Cerekang baru dimulai pada sekitar tahun 1450,berhubungan dengan naiknya peleburan besi dan produksi alat-alat senjata di Matano. Hal ini merupakan suatu godaan untuk beranggapan bahwa masyarakat Bugis di Cerekang telah secara nyata mengadopsi mitos istana Batara Guru dari tetangganya, Wotu yang lebih tua. Pendapat ini diperkuat dari hasil penelitian OXIS yang menyebutkan ” Tidak ada bukti apapun yang menunjukan penduduk masyarakat Bugis di Cerekang maupun Ussu sebelum pertengahan abad ke XV. Hal ini berarti bahwa identifikasi atas lokal atas Cerekang sebagai tempat istana Batara Guru lebih tepat berlaku dari abad ke XVI ke atas. Lokasi dari pusat istana Luwu disini dalam tradisi lisan secara nyata adalah penempatan kejadian pada waktu yang salah (anakronisme).

Ekspansi orang Bugis ke Ussu dan Cerekang berlangsung pada fase belakangan sejarah Luwu pra Islam, jika tidak setelah masuknya Islam ke Luwu. Tampinna, Cerekang dan Malili, pada mulanya didiami oleh penduduk non Bugis yaitu Wotu, Pamona, Topadoe dan Tolaki. Berdirinya Istana Batara Guru pertama di Wotu lama atau disekitar Bilassa Lamoa terpat permadian yang utama para bangsawan pada saat itu yaitu di Ussu atau orang Wotu menyebutnya tempat Minussu atau menyelam. Pelabuhan utamanya terletak di Pentomua serta tempat pemujaan yang paling utama berada disebelah selatan Wotu lama yaitu Serebessue (Tempat para bissu menari). Berdasarkan penelitian dari OXIS pengaruh Hindu hanya ada dua tempat di Luwu, yaitu Wotu dan Baebunta dengan ditemukannya kremasi mayat di tempat ini. Ketika runtuhnya Ware pada priode pertama Wotu lama pindah ke bagian barat yaitu Wotu yang ada sekarang, sebahagian yang lainnya pindah ke bagian utara yaitu Cerrea (hijrah atau pindah tempat) akan tetapi sangat disayangkan setelah datangnya orang Bugis di Cerea sekitar tahun 1450 nama Cerrea berobah menjadi Cerekeng. Akan tetapi walaupun demikian orang-orang yang ingin mengaburkan sejarah dan jejak Wotu di Cerrea mengalami kesulitan untuk mengganti nama pimpinan masyarakat adatnya yang tetap disebut sebagai Pua (nenek) Cerrea, mereka mengalami kesulitan mengganti dengan nama nene Cerekeng. Air bertuah yang di kramatkan sebagai air suci bagi orang Wotu yaitu Uwe Mami (air kami) sulit diterjemahkan dan diganti jadi nama Waeta. Sebenarnya jejak keberadaan Wotu pada sejarah Luwu purba sulit terbantahkan antara lain. Nama Gunung Lampenai adalah terjemahan dari kata Parangpanjang atau tempat pandebesi membuat senjata. Tampinna atau tempat membuat sarung senjata tau parang. Pentomua atau pelabuhan tempat dimana pertemuan antara dua komunitas, Serrebessue dan sebagainya.

Sebagaimana diketahui bahasa Wotu juga merupakan identitas orang Wotu,keunikan Wotu seperti yang dicatat oleh Bulbeck dan Prasetyo (1999) yaitu iklimnya yang memusim dari pada daerah Luwu lainnya. Perbedaan geografi budaya ini telah menarik perhatian beberapa sarjana. Kembali ke bahasa Wotu sebagai identitas orang Wotu ini, telah membentuk mata rantai pola segi tiga hubungan dengan kedua ujung semenanjung selatan dan tenggara Sulawesi yang memungkinkannya masuk dalam jaringan niaga teluk Bone. Dengan demikian, isolasi bahasa seperti pandangan sekarang justru bisa berarti sebaliknya, ini menunjukan bahwa Wotu telah menjadi akses kuna bagi para pedagang lintas semenanjung selatan, tenggara dan tengah. Kepopuleran bahasa Wotu memberi kita sebuah horizon yang agak jelas tentang tentang Wotu ddaan bukti-bukti arkeologis dan legenda Wotu yang tua, sehingga Bulbeck n Prasetyo menduga bahwa mungkin sejak tahun 1200-an orang Wotu telah aktif berniaga memperdangangkan produk-produk dari kedalaman jauh di Sulawesi Tengah dan lembah-lembah Danau Poso. Jejak tersebut bahkan terekam dalam teks I La Galigo, bahwa orang Wotu di sungai Pewusoi sekitar Gunung Lampenai, membuat kapal-kapal Kedatuan Luwu.

Konsep-konsep kepemimpinan di Luwu cukup mendapat perhatian bila di hubungkan dengan konsep kepemimpinan tradisional, Pua (Cerrea), Makole (Baebunta) dan Macoa (Wotu). Dari tradisi lisan Wotu, kita mendapat informasi bahwa Macoa Bawalipu dalam mewnjalankan pemerintahannya membawahi tiga macoa yang lain, yaitu Macoa Bentua yang menangani urusan dalam negeri, Macoa Mincara Oge yang mengurusi masalah ekonomi. Macoa Palemba Oge yang bertugas dalam hubungan dengan Macoa Bawalipu dan Datu Luwu di Palopo. Di bawah Macoa tersebut terdapat sejumlah jabatan yang menangani bidang tertentu. Ada tiga orang bergelar Oragi, yaitu Oragi Bawa Lipu, Oragi Datu, dan Oragi Ala. Dibawahnya terdapat enam orang bergelar Anre Guru antara lain antara lain Anre Guru Oli Tau, Anre Guru Tomengkeni, Anre Guru Pawawa, Anre Guru Lara, dan Anre Guru Ranra. Selanjutnya ada jabatan Angkuru atau sanro sebagai penasihat, dan ada dua lagi bergelar paramata, yaitu Paramata Tarompo (Rompo) dan Pramata Lewonu (lihat Mas’ud Rahman et.al 1999). Selanjutnya dalam silsilah orang Wotu diceritakan bahwa Macoa Bawa Lipu yang pertama di Wotu bernama Bau Jala, Bau Jala mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Bau Cina di Palopo, Bau Leko di Palu dan Bau Kuna di Buton. (lihat Salombe dkk 1987, sande dkk.1991).

D. PENUTUP
Kepercayaan terhadap Sawerigading yang selalu berpusat di Ware telah dipercayai di seluruh wilayah Kedatuan Luwu, juga sebagaimana halnya juga dipercayai oleh orang Wotu sebagai salah satu komunitas yang sangat besar pengaruhnnya, tidak hanya di Luwu tetapi sampai di Sulawesi Tengah. Dari perspektif sejarah dan antropologi, menarik untuk diperhatikan bahwa Wotu, dari segi geografi budaya berbeda dengan domain Luwu lainnya. Legenda Wotu tidak terlepas dari epik I La Galigo yang selalu diacu oleh hampir setiap pusat-pusat pemukiman kuno, yang mungkin sekali menjadi populer berkat transfer kultural elit kerajaan dan pedagang bugis selama gelombang migrasi Bugis keseluruh pesisir Teluk Bone, namun harus di garis bawahi bahwa orang Wotu mempunyai latar sejarah yang jelas terlepas dari dinasti Luwu. Pendekatan sosio-linguistik jelas memberi petunjuk bahwa orang Wotu mungkin berasal dari pusat-pusat niaga di bagian lain pesisir teluk Bone, telah mengokupasi sungai Kalaena dan Wotu sebelum terbentuknya Dinasti Luwu.

Wotu, 1 Mei 2008.(nskilat@yahoo.com)

WOTU, DARI KACAMATA SEORANG ANAK KECIL

PENDAHULUAN

WOTU, sebagai komunitas dan sebagai pemukiman secara administratif berada di Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur atau berjarak sekitar 513 km dari kota Makassar ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Penduduk traditional yang mendiami terdiri dari dua etnik besar yaitu Wotu dan orang Bugis,disamping etnik lain seperti Makassar, jawa ,lombok ,sunda dan bali, yang merupakan pendatang yang bermukim disana.Aktivitas ekonomi bergerak dibidang pertanian,perikanan dan perdangangan.Didalam pergaulan masyarakatnya, berlaku dua bahasa pengantar yaitu bahasa Wotu yang dituturkan oleh orang Wotu Asli dan bahasa Bugis. Bahasa Wotu merupakan grup linguistic,Muna-Buton(Sirk
:1986 dan Salombe;1986) dan Kaili Sulawesi Tengah.Dahulu kala bahasa Wotu alat komunikasi pada sebahagian daerah Sulawesi Selatan pada sepanjang pesisir Teluk Bone dan sebagian Sulawesi Tengah,dan sekitar Buton Tenggara. Bahasa Wotu menurut Petras(ibid) adalah salah satu bahasa asli daerah Luwu dan penuturnya adalah merupakan pewaris budaya Luwu yang sesungguhnya. Demikian pula dalam struktur hirarkhi Kerajaan Luwu , yang kadang kala ada sekelompok golongan ingin mengaburkan atau menghilangkan sejarah ini, yang lebih ironis justru dari kelompok generasi Luwu pada periode-periode akhir, mereka tidak menyadari bahwa Wotu bukan merupakan palili (vassal) tetapi merupakan Domain yang menghubungkan kekuasaan Luwu dengan yang lain dengan Lembah Poso yang mendiami tanah Datu,
Potensi sejarah dan kekunoan Luwu belum banyak dikaji, sehingga pengetahuan tentang Wotu masih terbatas,salah satu yang terakhir dilakukan oleh Ian Caldwel dan D.Bulbeck (2000) dalam final report proyek OXIS,Land of Iron. Yang menarik adalah bahwa keberadaan arkeologis Wotu sekitar 1500 tahun lebih tua dari Malangke, yang diyakini sebagai pusat perdagangan Luwu di abad ke XII – XIV, semua ini didasarkan pada temuan keramik dan hasil Fotocarbon terhadap lapisan kandungan tanah dari berbagai situs yang ada di Luwu. Berbagai bukti penemuan arkeologi, tradisi lisan maupun naskah mendukung hal tersebut seperti bukit Lampenai dan Mulaitoe (Mulataue) dimana diyakini merupakan areal pertanian, dimana dikisahkan Batara Guru sebagai Tomanurung berdiam dan memperkenalkan ladang untuk pertama kalinya kepada manusia di Luwu. Demikian pula situs Benteng tua serta Serre Bessue dimuara sungai Wotu, tempat para Bissu menari untuk suatu acara ritual. Berdasarkan potensi sejarah,antropologi yang dimiliki daerah Wotu, adalah menarik untuk mengangkat potensi budaya yang ada dalam masyarakat seperti ritual dan kesenian.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, beberapa kesenian yang berada didaerah Wotu seperti Kajangki dan Sumajo menarik untuk dilestarikan dan diperkenalkan bukan saja kepada generasi muda di Wotu tetapi juga kepada umum yang belum pernah menyaksikannya. Kajangki berasal dari kata Jangki yang berarti kemenangan, yang dimaksud adalah kemenangan Luwu yang dicapai oleh perajurit dalam menghadapi musuh-musuhnya. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, bahwa keberadaan kajangki di Wotu adalah sejak adanya ade” atau adaptasi yang mengharuskan adanya norma yang berlaku bagi yang melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka dikenakan sanksi yang dinamakan “Eja-Eja”. Hal ini memberi penjelasan bahwa kajangki dilaksanakan sebagai realisasi rasa syukur atas kemenangan yang dicapai dalam medan perang atau mendapat rezeki dalam kehidupan.Karena itu siapa yang melakukan pelanggaran dalam melaksanakan kajangki dianggap melanggar norma adat dan akan diberikan sanksi sesui ketentuan yang berlaku.
Seperti yang dijelaskan diatas , bahwa kajangki merupakan kesenian asli Luwu seperti yang dikukuhkan dalam surah Mulataue dalam epos La Galigo yang berbunyi” Majangki ri Luwu, Masengo-sengo ri Mengkoka, Mabbadong ri Toraja, sementara berdasarkan pengetahuan yang ada, bahwa semua wilayah Luwu Kajangki hanya diketemukan di Wotu.

BAGAIMANA WOTU SEKARANG. ?
Dari pedoman 5W 1H, tampak pertanyaan 5W telah terjawab dalam penjelasan tentang identitas orang Wotu secara umum. Namun ada satu pertanyaan yang menggelitik pikiran yaitu How (Bagaimana) orang Wotu saat ini. Dari beberapa kali pulang kampung yang saya lakukan, tampak benar kebanggaan orang-orang Wotu akan identitas mereka sebagai To Luwu yang utamanya keturunan asli. Kebanggaan sebagai pemilik kebanggaan asli Luwu yang didukung berbagai fenomena-fenomena dan pertanyaan seperti,Wotu sebagai Kakak (macoa) dari Datu Luwu, berdasarkan mitologi versi wilayah ini tentang empat bersaudara dari moyang dari orang Wotu, Luwu,Palu dan Buton dan juga keberadaan empat tempat keramat seperti Tana Bangkolo, Tana Padda, Ue Mami dan sebagainya. Namun jika memandang saat ini, kebanggaan obyek tersebut tampaknya dinafikkan oleh generasi terahkir pewaris kebudayaan Luwu secara bertahap.Seperti dahulu dan mungkin juga sekarang masih ada rumor mengatakan orang wotu sebagai parassu rassu atau tempat ilmu hitam doti dan sebaginya, hal ini dilakukan sebagai strategi pembunuhan krakter bagi orang Wotu sebagai salah satu komunitas pemilik budaya Luwu. Selamjutnya mengenai bahasa, menurut kajian DR,Abdullah pengguna bahasa ini diperkirakan tinggal 5000 orang dan keberadaannya 10 km persegi dalam wilayah Kecamatan Wotu saja. Hal ini disebabkan telah berkurangnya pemakai bahasa Wotu dalam lingkungan masyarakat Wotu akibat kawin campur dengan para pendatang, menyebabkan komunikasi menggunakan bahasa bugis dan bahasa Indonesia. Demikian juga dalam konteks politik terakhir, berdasarkan sejarah dan temuan, bahwa proses pembentukan Luwu Timur , keberadaan Kota Wotu yang paling layak sebagi ibu kota kabupaten, menginga Wotu pernah menjadi ibu kota atau ware Kerajaan Luwu pada periode awal.

PENUTUP.
Kebesaran budaya Wotu yang ada dan berbagai potensi didalamnya, kiranya kita lihat dalam konteks kekinian dalam persfektif modern, Jika terus menggugat berbagai perlakuan yang orang Wotu terima akhir-akhir ini. Marilah kita gari jalan keluar ber sama-sama dalam memecahkan masalah tersebut. Jika kita bisa belajar kita tidak akan menjadi bangsa/komunitas yang hidup dengan masa lalu, seperti orang-orang Indian yang pernah begitu berjaya di lembah prairie Amerika, sekarang mereka tinggal dalam desa adat meraka yang kumuh dan hanya menjadi obyek pariwisata. Orang Wotu belum terlambat untuk bangun...!!(Oleh;Amirullah Amir to Baji, peneliti pada Divisi Social Budaya,Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian UNHAS)

KAJANGKI & SUMAJO

(Pengantar; Nawawi S. Kilat)

BERAWALl akan ketertarikan saya ketika semasa kuliah di Universitas Indonesia, tempat dimana kami dahulu sempat ditempa dalam penguasaan ilmu pengetahuan, saya kagum dan, ada rasa iri melihat teman-teman saya dengan tekun belajar Javanologi dan Sundalogi.Hal ini mengingatkan akan masa kecil saya di kampung, belajar banyak tentang La Galigo dari Pua Kannu dan kakak saya Alwi Azis dan Amin Wahid. Sudah menjadi kebiasaan saya bila pulang berlibur di kampung halaman, saya selalu menyempatkan diri menemui Bapak Prof Zainal Abidin Farid di kota Makassar, kami sering berbincang cukup lama pada setiap kesempatan, beliau sangat senang karena masih ada orang seperti saya yang punya kepedulian tentang hal ini, dan berpesan jangan berhenti belajar , walaupun sebenarnya disiplin ilmu saya bukanlah pada bidang ini, tetapi walaupun demikian saya punya perhatian besar Masih teringat dalam ingatan saya ketika salah seorang guru sejarah kami mengajarkan tentang seni tari, dan beliau menyatakan bahwa tarian Pa’jaga berasal dari Luwu, sempat saya membantahnya bahwa itu tidaklah benar, tetapi tarian asli Luwu adalah Kajangki dan Sumajo, akan tetapi pada akhirnya saya mengalah ketika beliau menyatakan bahwa kalau ada pertunjukan kesenian di Istana Luwu tidak pernah kita melihat adanya tarian kajangki tetapi yang ada adalah tarian Pa’jaga. Sebagai murid yang masih sangat lugu saya tidak bisa membantahlagi dan untuk mementara menerimanya sebagai suatu kebenaran.Penasaran akan hal ini maka suatu ketika saya bersua dengan kakak saya Alwi Azis dan mempertanyakan hal ini kepada beliu, ternyata pendapat saya beberapa tahun yang lalu justru menurut beliau adalah yang betul dengan mengeluarkan dalil sebagai berikut, dalam buku Mulataue yang merupakan salah satu seri epos La Galigo disebutkan “ Kajangki ri Luwu, Masengo-sengo ri Mengkoka dan Mabbadong ri Toraja. Jadi menurut beliau tidak pernah diketemukan bahwa Pa’Jaga dari Luwu, justru tari pa’jaga ini lebih banyak dipengaruhi dari Makassar atau Goa.Jikalaupun kita mau menerima bahwa tarian pa,jaga dari Luwu dapat saja dibenarka karena hal itu terjadi pada Luwu di era modern (abad IX dan XX) tetapi pada era awal atau pertengahan fase pemerintahan Kerajaan Luwu hal itu tidak diketemukan.
Dalam rangka melestarikan kebudayaan nasional khususnya kebudayaan Luwu maka kami berusaha menampilkan synopsis tari kajangki dan sumajo dari Luwu berdasar dua buah tulisan tentang hal yang sama dari kakanda Almarhum Alwi Aziz yang beliau tulis di palopo bulan Desember 1986 dan Amin Wahid.

SINOPSIS TARIAN KAJANGKI LUWU

Oleh; Alwi Aziz)

I. LATAR BELAKANG.

Ware (Pusat Kerajaan) Luwu yang Pertama yaitu pada abad ke IX sampai abad ke XIII, pusat kerajaan pada saat itu masih disekitar Wotu , tepatnya di wilayah Bilassalamoa (Kebun Dewata).Kajangki Luwu ,yang merupakan tarian asli Luwu sebagaimana yang tercantum dalam sure La Galigo yang berjudul Mulaitoe yang berbunyi:
= Kajangki ri Luwu,
= Masengo-sengo ri Mengkoka dan
= Mabbadong ri Toraja.

II. ARTI.
Kajangki Luwu berarti “Kemenangan Luwu” maka jelas bahwa kajangki Luwu menggambarkan dan mengisahkan kemenangan yang dicapai di medan perang.

III. PEMENTASAN.
Kajangki Luwu dapat dipentaskan.

(I), DI WOTU SENDIRI.
a. Diadakan pada acara kebesaran adat yangdipentaskan Barugga, antara lain;
- Macceratasi ; Pesta laut,
- Mobiola ; Pesta kemenangan,yakni peringatan yang di
. adakan setiap ada daerah yang ditaklukkan.
- Momante ; Pesta panen.

b. RUMAH PEJABAT.
Dilakukan dalam acara;
- Memasuki rumah baru,
- Pesta persalinan,
- Pesta perkawinan.

PEJABAT;
Pejabat yang dinaksud adalah anggota hadat dan pejabat penerintahan,khusus pejabat hadat meliputi;
1. Macoa Bawalipu,
2. Macoa Bemtua,
3. Macoa Mincara Oge,
4. Macoa Pelemba Oge,
5. Uragi Bawalipu,
6. Uragi Datu,
7. Uragi Ala,
8. Anre Guru Olitau.
9. Anre Guru Tomadappe,
10. Anre Guru Lara,
11. Anre Guru Tomengkeni,
12. Anre Guru Pawawa,
13. Anre Guru Ranra.
14. Angkuru,
15. Paramata Lewonu,
16. Paramata Rampa,
17. Tanggi

RUMAH BARU,
1. Rumah yang memiliki tipe-tipe satu.
Tarian kajangki di tarikan dengan cara setelah runah dimasuki, dan merupakan rangkaiam acara.

2. Rumah yang memiliki tipe tipe dua susun keatas.
Tarian kajangki ditarikan sejak memasuki pintu,mengantar pemilik rumah, merupakan acara pertama memasuki rumah, kajangki ini disebut Kajangki Tuddu.

PESTA PERSALINAN.
Tarian kajangki dapat dilaksanakan pada kelahiran anak-anak pejabat, turunan pejabat dan bekas pejabat ( Tomengkeni)
.
PESTA PERKAWINAN.
Tarian Kajangki Luwu dapat di mainkan pada pesta perkawinan sebelum dan sesudah akad nikah, pada perkawinan yang disebut Nikka Datu Balua , yaitu perkawinan yang terjadi antara pasangan turunan Bawalipu, Oragi dan Anre Guru.

(II) DI ISTANA.
Tarian Kajangki Luwu yang dilaksanakan di Istana Datu Luwu di Ware ( Tempat Ibu Kota Kerajaan) dalam acara;
- Peringatan Kemenangan,
- Kelahiran putra-putri raja ( Datu ).

IV.PEMAIN.
Yang boleh menjadi pemain tarian kajangki yaitu semua turunan dari jenis jabatan di atas dan turunan olitau. Olitau adalah suatu golongan/keturunan yang secara turun temurun tidak dapat diangkat sebagai anggota adapt, sesuai kenyataannya, tetapi mempunyai hak istimewa yakni apabila ada anggota hadat yang menurut ukurannya tidak wajar lagi menjadi anggota hadat, maka ia berhak menurunkan dari jabatan melalui Macoa Bawalipu.Sebagai mana diketahui bahwa Olitau, ialah turunan Bawalipu sejak dahulukala sampai pada saat siding pleno hadat di samping Tangga Padda ( Sekarang Masjid Arrasiun).menerima Islam, dan telah dilanggar dengan melakukan protes keras sehingga hadat menjatuhkan sanksi.


V.JENISNYA.
Tarian Kajangki Luwu termasuk jenis tari pahlawan/tari perang dan merupakan sendatari (seni drama tari), namun tidak menutup kemungkinan dapat dimainkan sebagai tarian biasa.

VI. KOMPOSISI.
1. SERE BANDA, ialah suatu gerak tari yang dibawakan oleh pria, yang menggambarkan sepasukan pejuang yang kembali dari medan perang dengan kemenangan yang gilang gemilang. Jumlah pemain sesuai dengan kebutuhan.

2. Kostum/pakaian.
1). Baju warna hitam ( Model jas tutup ),
2). Celana hitam panjang antara 10-15 cm dibawah lutut dan agak sempit.
3). Sarung berwarna merah kehitaman.
4). Destar merah daqrah (pasapu jonjo) kurang lebih sama dengan destar Sultan Hasanuddin.
5). Keris.

2. SUMAJO. Ialah merupakan sebuah gerak tari yang dimainkan oleh putra-putri istana, yang merupakan penyanbutan atau pernyataan gembira atas kemenangan para pejuang,pemainnya minimal empat orang.

Kostum/Pakaian.
1). Baju Bodo Panjang (baju laru) warna merah dan sarung warna putih.
2). Sanggul tinggi.

3. EJA-EJA, adalah gerak dan nyanyi dilakukan perorangan, dinulai oleh salh seorang pejuang yang menurut hadat salah tingkah disaat melihat penari wanita.Ia menggunakan Cinde.

4. ANGGOTA HADAT terdiri dari;
1). Macoa Bawalipu,
2). Andreguru Olitau,
3). Andreguru Pawawa.
Selaku Dewan Hakim yang mengadakan siding terhadap para pejuang yang menurut penilaian mereka telah melanggar tatakrama.

5. PEMAIN MUSIK.
1). Penabug gendang 2 orang,
2). Pemain lae-lae 1 orang.
3). Pemain curiga 1 orang.
4). Pemain gong 1 orang
5). Penyanyi 1-2 oramg
KOSTUM;
1). Penabuh gendang sama dengan kostum pejuang,
2). Pemain lae-lae dan curiga sama dgn kostum pemain wanita.
3). Pemain gong sama dengan kostum pejuang,
4). Penyanyi , baju hitam.

VII. WAKTU PENTAS.
1. Dapat dimainkan dalam waktu paling lama 30 menit,
2. Dapat dimainkan semalam suntuk.

VIII. JALNNYA PERMAINAN.
Formasi Dasar
- Pria dasar lingkaran,
- Wanita dasar bersaf.

Persiapan.
a. Pemain pria siap berbentuk berbanjar;
- Gendang ditabuh,pemain pria serentak Mattuddu dengan ucapan Hae yang tegas dan bersemangat.
- Gerak berjalan,
- Gerak ketangkasan,menggunakan senjata,
- Gerak serangan,
- Gerak bagaimana menyebrangi sungai,
Setiap peralihan gerakan dengan komando Lele.

b. Sementara pria menari, para pemain wanita telah siap dengan berbanjar disebuah tempat. Setelah gerak penyerangan bagi pria, kembali dengan gerakan berjalan menuju tempat wanita, dan pada saat itu dengan iringan lagu dan musik penari wanita keluar, dengan berjalan menjemput kaum pria yang seterusnya beriringan menuju pentas, dimana anggota hadat telah duduk.Pria membentuk setengah lingkaran dan dengan kode tabuh gendang, mereka serempak duduk bersilah, dan penari wanita memulai gerak tarinya. Pada sat itu para pejuang nampak masing-masing dengan gerak-gerik tertarik kepada penari wanita, yang diperhatikan oleh hadat. Anggota hadat meneliti para pejuang yang salah tingkah, yang itulah yang dijatuhi hukuman. Setelah selesai gerak tari wanita, dengan kode tabuh gendang, juga mereka duduk.

Pada saat terjadi persidangan.
- Macoa Bawalipu mengatakan:
“TAMAKA RANNU,UJIA PADA AWAMU MUBAWA JANGKI LAEKIA DAA SANGO UPODDA NYAWA,IYYA TOMI DAANUSALA SAITOMU MUPOPAITA KEDO KEDO LASITINAJA IPOPAITA ITANGA TOMATABBA.

- Magaga pakaitata Anre Guru.?.
“METTU TONGGA TASANGAE,JAJJI PARALLU IPALANAI EJA-EJA.
- Macoa Bawalipu melemparkan cinde kepada yang dianggap bersalah.
- Yang bersangkutan menerima cinde, dan bersujut di hadapan macoa Bawalipu lalu berdiri dengan gerakan dan nyanyi.
- Berlangsunglah acara Eja-Eja.
- Cinde dapat diserahkan kepada salah seorang gadirin pria.
- Siapa yang memperoleh cinde, harus melaksanakan gerak dan nyanyi Eja-Eja.
- Cinde tidak dapat berpindah kepada pejabat , bekas pejabat dan wanita.
- Jika cinde kepada salah satu yang tersebut diatas, maka permainan dinyatakan selesai.
- Setelah permainan selesai, gendang ditabuh dan para pemain berdiri dengan gerakan berjalan menuju ketempat yang tersedia.
- Tarian ini tidak boleh ditarikan se potong-potong, seperti pria saja, atau wanita saja, hanya Eja-Eja saja, akan tetapi harus dilakukan secara lengkap.

PENUTUP dan SARAN.
Untuk pelaksanaan program pembinaan,pengembangan dan pelestarian kesenian ini, penyusun memohon kepada orang tua-tua dan anggota hadat dan turunannya, agar berkenan mengihlaskan kesenian ini kiranya dapt;

1. Dimainkan oleh seniman yang berbakat dengan tidak memandang keturunan.
2. Dimainkan pada acara-acara yang dirasa perlu kesenian ini ditampilkan.
3. Dikembangkan kepada generasi muda selanjutnya,dan kepada seniman didaerah-daerah lain utamanya di Kabupaten Luwu, agar kesenian ini dapat dikenal dan dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia sebagai jalur dapatnya menjadi Kesenian Nasional Indonesia.

SINOPSIS TARI SUMAJO

SUMAJO dimainkan minimal tiga orang dan boleh lebih sesuai dengan kebutuhan tetapi jumlahnya harus ganjil. Yang boleh menjadi pemain sumajo adalah mereka yang turunannya berasal dari para pemangku adapt/ yang pernah menjadi pemangku hadat ( TOMENGKENI). Sebelum mereka tampil (sumajo) maka mereka disiapkan pada suatu tempat dengan posisi sebagai berikut:
- Duduk sambil kaki kiri diduduki,
- Kaki kanan (lutut) berdiri,
- Kedua belah tangan mereka kepada bahagian depan dengan kepalan tangan,
- Mereka duduk bersaf.
Setelah melihat para pemain Kajangki datang yang diikuti dengan komando tabuh/gong,maka secara serentak mereka berdiri sambil menganggukkan kepala pertanda bahwa mereka sudah siap untuk tampil. Sesudah itu mereka berjalan dengan posisi berbanjar dan diikuti oleh pemain kajangki. Setelah tiba tempat dimana mereka akan mempertunjukan Tarian Sumajo, maka pihak penari Sumajo menyusun posisi mereka, sedang para pemain kajangki berada setengah lingkaran, suatu pertanda bahwa penari Sumajo perlu dilindungi. Namun sebelum penari Sumajo muncul dihadapan mereka ada duduk dewan hakim minimal tiga orang yang terdiri dari:
- MACOA BAWALIPU,
- MINCARA OGE,
- ANRE GURU OLITAU/ AND.NANRA.
Setelah pertunjukan Sumajo usai, dengan perintah tubuh mereka kembali ketempat semula, yang diantar oleh pemain Kajangki, dan setelah mereka tiba ditempat, maka pemain kajangki kembali duduk disekitar Dewan Hakim. Dan setelah mereka duduk, Macoa Bawalipu menyampaikan titahnya sebagi berikut:
TAMAKA RANNU PADA MUITAO MOMBORE, YAKIYA DAA SEDDE KEDO KEDONA SALAH SAITOMU,KEDO KEDO PISA LAWADDI LAITA TOMATABBA, JAJIMAKOKKONI HARUSU MARO MO EJA EJA.
Pada saat Macoa Bawalipu menyampaikan titahnya tersebut maka sarung yang ada ditangannya yang disebut Cinde, dilemparkanlah kepada yang berbuat kesalahan tadi. Setelah yang bersangkutan menerima Cinde tersebut maka dengan rasa ragu dan takut menghadaplah dia ke Dewan Hakim untuk meminta maaf, akan tetapi Dewan Hakim tidak menerimanya,justru yang bersangkutan melakukan Eja-Eja. Eja-Eja adalah merupakan pantun jenaka, dan tidak terikat dengan bahasa, malah kalau pelakonnya bergerak lucu, maka itulah yang sangat diharapkan karena dapt membuat penonton tertawa. Bila yang bersangkutan selesai melakukan eja-eja maka cinde yang ada pada tangannya dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya terkecuali kepada pejabat pemerintah/pemangku hadat dan wanita. Dan apabila yang tersebut juga diberikan maka permainan/tarian dianggap selesai, dan cinde kembali diserahkan kembali kepada Macoa Bawalipu. Cinde adalah selembar kain sarung panjang yang tidak terjahit seperti sarung biasa yang dipegang oleh pemain Eja-Eja pada saat kena giliran. Adapun alat kelengkapan Tarian Sumajo:
1. Baju Bodo panjang (Baju laru ) warna merah,
2. Sarung sutra warna putih,
3. Selendang Warna putih
4. Memakai sanggul tinggi.

SEKELUMIT NYANYIAN KAJANGKI.

LIPU BULLI NU AMBARO MPORO,
PANGALLE AWAU PANGALLE TO RUMPAU,
IYOBA PO LEMBANGKU,
PANGANA WONRU TUU ITA PANA LIPU,
IYAPO LADI PENNEYA ANANAPO MARAJA,
MO EMBA PATOLA.
(Oleh; M. Amin Wahid Tomalatta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar